LAPORAN
PENDAHULUAN
SECTIO
CAESAREA ATAS INDIKSI CPD
A. KONSEP DASAR PENYAKIT
I. SECTIO CAESARIA
1.
Pengertian
Sectio Caesaria
Seksio sesarea ialah
pembedahan untuk melahirkan janin dengan membuka dinding perut dan dinding
uterus. ( Prawirohardjo, 1999)
Seksio sesarea adalah
melahirkan janin melalui insisi pada dinding abdomen dan dinding uterus.
(Cunningham dkk, 1990)
Seksio
sesarea adalah sebuah bentuk melahirkan anak
dengan melakukan sebuah
irisan pembedahan yang
menembus abdomen seorang ibu dan uterus untuk mengeluarkan satu bayi
atau lebih. Cara ini biasanya dilakukan ketika
kelahiran melalui vagina akan mengarah pada komplikasi-komplikasi,
kendati cara ini semakin umum sebagai pengganti kelahiran normal.
(Yusmiati, 2007)
Dari pengertian diatas dapat
disimpulkan bahwa seksio sesarea adalah pembedahan untuk melahirkan janin
dengan membuka dinding perut dan dinding uterus.
2.
Jenis Sectio Caesarea Berdasarkan Teknik Penyayatan
a.
Seksio
sesarea klasik atau corporal
Dilakukan dengan membuat sayatan
memanjang pada korpus
uteri kira-kira 10 cm. Kelebihannya antara lain : mengeluarkan janin dengan cepat, tidak mengakibatkan komplikasi kandung
kemih tertarik, dan
sayatan bisa diperpanjang proksimal dan distal. Sedangkan
kekurangannya adalah infeksi mudah menyebar
secara intraabdominal karena
tidak ada peritonealis
yang baik, untuk persalinan yang berikutnya lebih sering terjadi ruptur
uteri spontan.
b. Seksio
sesarea ismika atau profundal.
Dilakukan dengan
melakukan sayatan melintang
konkat pada segmen bawah rahim (low servikal transversal) kira-kira 10 cm.
Kelebihan dari sectio caesarea
ismika, antara lain :
penjahitan luka lebih mudah, penutupan luka
dengan reperitonealisasi
yang baik, tumpang
tindih dari peritoneal
flop baik untuk
menahan penyebaran isi
uterus ke rongga peritoneum, dan kemungkinan
ruptur uteri spontan berkurang
atau lebih kecil.
Sedangkan kekurangannya adalah luka
melebar sehingga menyebabkan uteri pecah dan menyebabkan perdarahan
banyak, keluhan pada kandung
kemih post operasi tinggi.
c.
Seksio sesarea ekstra
peritonealis
Yaitu tanpa
membuka peritoneum parietalis dan tidak membuka cavum abdominal.
3. Klasifikasi Sectio Caesarea
a.
Seksio Sesarea Primer
Dari semula telah
direncanakan bahwa janin akan dilahirkan secara seksio sesarea, tidak
diharapkan lagi kelahiran biasa, misalnya pada panggul sempit.
b.
Seksio Sesarea Sekunder
Dalam hal ini kita bersikap
mencoba menunggu kelahiran biasa, bila tidak ada kemajuan persalinan, baru
dilakukan seksio sesarea.
c.
Seksio Sesarea Ulang
Ibu pada kehamilan lalu
mengalami seksio sesarea dan pada kehamilan selanjutnya dilakukan seksio
sesarea ulang.
d.
Seksio Sesarea Postmortem
Seksio sesarea yang
dilakukan segera pada ibu hamil cukup bulan yang meninggal tiba-tiba sedangkan
janin masih hidup.
4. Indikasi Sectio Caesarea
a.
Disproporsi chepalopelvik
atau kelainan panggul.
b.
Plasenta previa
c.
Gawat janin
d.
Pernah seksio sesarea
sebelumnya
e.
Kelainan letak janin
f.
Hipertensi
g.
Rupture uteri mengancam
h.
Partus lama (prolonged
labor)
i.
Partus tak maju
(obstructed labor)
j.
Distosia serviks
k.
Ketidakmampuan ibu
mengejan
l.
Malpresentasi janin
·
Letak lintang
- Bila
ada kesempitan panggul maka secsio sesarea adalah cara yang terbaik dalam
segala letak lintang dengan janin hidup dan besar biasa.
- Semua
primigravida dengan letak lintang harus ditolong dengan secsio sesarea walau tidak
ada perkiraan panggul sempit.
- Multipara dengan letak lintang dapat lebih dulu
ditolong dengan cara-cara lain.
·
Letak bokong
Secsio sesarea dianjurkan pada letak
bokong bila ada :
-
Panggul sempit
-
Primigravida
-
Janin besar dan berharga
·
Presentasi dahi dan muka
(letak defleksi) bila reposisi dan cara-cara lain tidak berhasil.
·
Presentasi rangkap, bila
reposisi tidak berhasil.
·
Gemelli, dianjurkan
secsio sesarea bila
- Janin
pertama letak lintang atau presentasi bahu
- Bila
terjadi interlock
- Distosia
oleh karena tumor
- Gawat
janin
5. Komplikasi Sectio Caesarea
a. Infeksi
puerpuralis (nifas)
·
Ringan : Dengan kenaikan
suhu beberapa hari saja
·
Sedang : Dengan kenaikan
suhu yang lebih tinggi, disertai dehidrasi atau perut sedikit kembung
·
Berat : Dengan
peritonitis, sepsis dan ileus paralitik. Hal ini sering kita jumpai pada partus
terlantar dimana sebelumnya telah terjadi infeksi intrapartal karena ketuban
yang telah pecah terlalu lama.
b. Perdarahan,
disebabkan karena :
·
Banyak pembuluh darah
yang terputus dan terbuka
·
Atonia uteri
·
Perdarahan pada placenta
bed
c. Luka
kandung kemih, emboli paru dan keluhan kandung kemih bila reperitonialisasi
terlalu tinggi.
d. Kemungkinan
rupture uteri spontan pada kehamilan mendatang.
6.
Penatalaksanaan
Pasca Operasi Sectio Caesarea
Penatalaksanaan post operasi
sectio caesarea, antara lain :
1)
Periksa dan catat tanda -
tanda vital setiap 15 menit pada 1 jam pertama dan 30 menit pada 4 jamkemudian.
2)
Perdarahan dan urin harus
dipantau secara ketat.
3)
Pemberian tranfusi darah,
bila terjadi perdarahan post partum.
4)
Pemberian antibiotika.
Walaupun pemberian
antibiotika sesudah sesar
efektif dapat dipersoalkan, namun pada umumnya pemberiannya
dianjurkan.
5)
Mobilisasi.
Pada hari
pertama setelah operasi
penderita harus turun
dari tempat tidur dengan dibantu, paling sedikit 2 kali.
Pada hari kedua
penderita sudah dapat
berjalan ke kamar
mandi dengan bantuan.
6)
Pemulangan
Jika tidak terdapat komplikasi penderita
dapat dipulangkan pada hari
kelima setelah operasi. (Mochtar Rustam, 2002)
II.
LETAK SUNGSANG
1.
Pengertian Letak sungsang
Letak sungsang
adalah keadaan di mana janin terletak memanjang dengan kepala di fundus uteri
dan bokong berada di bagian bawah kavum uteri. (Sarwono, 2006)
Letak sungsang
adalah janin yang letaknya memanjang (membujur) dalam rahim, kepala berada di
fundus dan bokong di bawah. (Mochtar, 1998)
2.
Anatomi Panggul
Menurut morfologinya, jenis-jenis
panggul dibedakan menjadi 4, yaitu :
1)
Panggul ginekoid,
dengan pintu atas
panggul yang bundar
atau dengan diameter transversal yang
lebih panjang sedikit
daripada diameter anteroposterior dan
dengan panggul tengah
serta pintu bawah
panggul yang cukup luas.
2)
Panggul anthropoid,
dengan diameter anteroposterior yang lebih panjang daripada diameter
transversa dan dengan arkus pubis
menyempit sedikit.
3)
Panggul android, dengan
pintu atas panggul yang berbentuk sebagai segitiga berhubungan dengan
penyempitan ke depan, dengan spina iskiadika menonjol ke dalam dan dengan arkus
pubis yang menyempit.
4)
Panggul platipelloid, dengan
diameter anteroposterior yang jelas lebih pendek daripada diameter transversa
pada pintu atas panggul dan
dengan arkus pubis yang luas.
Tulang – tulang
panggul terdiri dari os koksa, os sakrum, dan os koksigis. Os koksa dapat
dibagi menjadi os ilium, os iskium, dan os pubis. Tulang-tulang ini satu dengan
lainnya berhubungan. Di depan terdapat hubungan antara kedua os pubis kanan dan
kiri, disebut simfisis. Dibelakang terdapat artikulasio sakro- iliaka yang
menghubungkan os sakrum dengan os ilium. Dibawah terdapat artikulasio
sakro-koksigea yang menghubungkan os sakrum (tulang panggul) dan os koksigis (tulang
tungging).
Pada wanita, di
luar kehamilan artikulasio ini hanya memungkinkan pergeseran sedikit, tetapi
pada kehamilan dan waktu persalinan dapat bergeser lebih jauh dan lebih
longgar, misalnya ujung koksigis dapat bergerak kebelakang sampai sejauh lebih
kurang 2,5 cm. Hal ini dapat dilakukan bila ujung os koksigis menonjol ke depan
pada saat partus, dan pada pengeluaran kepala janin dengan cunam ujung os
koksigis itu dapat ditekan ke belakang.
Secara fungsional,
panggul terdiri dari dua bagian yaitu pelvis mayor dan pelvis minor. Pelvis
mayor adalah bagian pelvis yang terletak diatas linea terminalis, disebut juga
dengan false pelvis. Bagian yang terletak dibawah linea terminalis disebut
pelvis minor atau true pelvis. Pada ruang yang dibentuk oleh pelvis mayor
terdapat organ-organ abdominal selain itu pelvis mayor merupakan tempat
perlekatan otot-otot dan ligamen ke dinding tubuh. Sedangkan pada ruang yang
dibentuk oleh pelvis minor terdapat bagian dari kolon, rektum, kandung kemih,
dan pada wanita terdapat uterus dan ovarium. Pada ruang pelvis juga kita temui
diafragma pelvis yang dibentuk oleh muskulus levator ani dan muskulus
koksigeus.
Adapun ukuran
panggul adalah sebagai berikut :
1)
Pintu
Atas Panggul
Pintu atas panggul
dibentuk oleh promontorium corpus vertebra sacrum, linea innominata, serta
pinggir atas simfisis. Konjugata diagonalis adalah jarak dari pinggir bawah
simfisis ke promontorium, Secara klinis, konjugata diagonalis dapat diukur
dengan memasukkan jari telunjuk dan jari tengah yang dirapatkan menyusur naik
ke seluruh permukaan anterior sacrum, promontorium teraba sebagai penonjolan
tulang. Dengan jari tetap menempel pada promontorium, tangan di vagina diangkat
sampai menyentuh arcus pubis dan ditandai dengan jari telunjuk tangan kiri.
Jarak antara ujung jari pada promontorium sampai titik yang ditandai oleh jari
telunjuk merupakan panjang konjugata diagonalis.
Konjugata vera
yaitu jarak dari pinggir atas simfisis ke promontorium yang dihitung dengan
mengurangi konjugata diagonalis 1,5
cm, panjangnya lebih kurang 11 cm. Konjugata obstetrika merupakan konjugata
yang paling penting yaitu jarak antara bagian tengah dalam simfisis dengan
promontorium, selisih antara konjugata vera dengan konjugata obstetrika sedikit
sekali.
2)
Panggul
Tengah (Pelvic Cavity)
Ruang panggul ini
memiliki ukuran yang paling luas. Pengukuran klinis panggul tengah tidak dapat
diperoleh secara langsung. Terdapat penyempitan setinggi spina isciadika,
sehingga bermakna penting pada distosia setelah kepala engagement. Jarak antara
kedua spina ini yang biasa disebut distansia interspinarum merupakan jarak
panggul terkecil yaitu sebesar 10,5 cm. Diameter anteroposterior setinggi spina
isciadica berukuran 11,5 cm. Diameter sagital posterior, jarak antara sacrum
dengan garis diameter interspinarum berukuran 4,5 cm.
3.
Pintu
Bawah Panggul
Pintu bawah panggul bukanlah suatu bidang datar namun
terdiri dari dua segitiga dengan dasar yang sama yaitu garis yang menghubungkan
tuber isciadikum kiri dan kanan. Pintu bawah panggul yang dapat diperoleh
melalui pengukuran klinis adalah jarak antara kedua tuberositas iscii atau
distansia tuberum (10,5 cm), jarak dari ujung sacrum ke tengah-tengah distensia
tuberum atau diameter sagitalis posterior (7,5 cm), dan jarak antara pinggir
bawah simpisis ke ujung sacrum (11,5 cm).
Gambar 2.1. Anatomi Panggul Wanita
3.
Klasifikasi Letak Sungsang
Klasifikasi letak sungsang
menurut Mochtar (1998) :
a.
Letak bokong (Frank
Breech)
Letak bokong dengan kedua tungkai terangkat keatas.
b.
Letak sungsang
sempurna (Complete Breech)
Letak bokong dimana kedua kaki ada di samping bokong
c.
Letak sungsang tidak
sempurna (Incomplete Breech)
Adalah letak sungsang di mana selain bokong bagian
yang terendah juga kaki atau lutut terdiri dari :
· Kedua kaki = Letak kaki sempurna
· Satu Kaki = Letak kaki tidak smpurna
· Kedua lutut = Letak lutut sempurna
· Satu lutut = Letak lutut tidak sempurna
Posisi
bokong ditentukan oleh sakrum, ada 4 posisi :
a.
Left sacrum anterior
(Sakrum kiri depan)
b.
Right sakrum anterior
(Sakrum kanan depan)
c.
Left Sakrum posterior (Sakrum
kiri belakang)
d.
Right Sacrum posterior
(Sakrum kanan belakang)
4.
Etiologi Letak Sungsang
Pada kehamilan
sampai kurang 32 minggu, jumlah air ketuhan relatif lebih banyak, sehingga
memungkinkan janin bergerak dengan leluasa, dengan demikian janin dapat
menempatkan diri dalam presentasi kepala, letak sungsang atau letak lintang
pada kehamilan triwulan terakhir janin tumbuh dengan cepat dan jumlah air
ketuban relatif berkurang. Karena bokong dengan kedua tungkai yang berlipat
lebih besar dari pada kepala, maka bokong dipaksa untuk menempati ruang yang
lebih luas di fundus uteri.
Faktor-faktor lain
yang memegang peranan dalam terjadinya letak sungsang diantaranya ialah
multiparitas, hamil kembar, hidramnion, hidrosepalus, plasenta previa dan
panggul sempit, kelainan uterus, plasenta yang terletak di daerah kornu fundus
uteri. (Sarwono, 2006)
5.
Diagnosis Letak Sungsang
Diagnosis letak
sungsang yaitu pada pemeriksaan luar : di bagian bawah uterus tidak dapat diraba
bagian yang keras dan bulat (kepala), kepala teraba di fundus uteri. Selain itu
ibu juga merasakan penuh dibagian atas dan gerakannya terasa lebih banyak
dibagian bawah. Denyut jantung janin pada umumnya ditemukan setinggi atau
sedikit lebih tinggi dari pada umbilicus. Apabila diagnosis letak sungsang
dengan pemeriksaan luar tidak dapat dibuat, karena misalnya dinding perut
tebal, uterus mudah berkontraksi atau banyaknya air ketuban, maka diagnosis
ditegakkan berdasarkan pemeriksaan dalam. Apabila ada keraguan, harus
dipertimbangkan untuk melakukan pemeriksaan ultrasonografi, setelah ketuban
pecah, dapat diraba lebih jelas adanya bokong yang ditandai dengan adanya
sakrum, kedua tuberosisiskii, dan anus. Bisa dapat diraba kaki, maka harus
dibedakan dengan tangan. Pada kaki terdapat tumit, sedangkan pada tangan ditemukan
ibu jari yang letaknya tidak sejajar dengan jari-jari lain dan panjang jari
kurang lebih sama dengan panjang telapak tangan.
6.
Mekanisme Persalinan
Bokong masuk ke
dalam rongga panggul dengan garis pangkal pada melintang atau miring, setelah
menyentuh dasar panggul terjadi putaran paksi dalam, sehingga di pintu bawah
panggul garis panggul pada menempati diameter anteposterior dan tronkanter
depan berada dibawah simfisis. Kemudian terjadi leksi lateral pada badan janin,
sehingga trokunter belakang melewati perineum dan lahirlah seluruh bokong
diikuti oleh kedua kaki, setelah bokong lahir terjadi putaran paksi luar dengan
perut janin berada di posterior yang memungkinkan bahu melewati pintu atas
panggul dengan garis terbesar bahu melintang atau miring. Terjadi putaran paksi
dalam pada bahu, sehingga bahu depan berada di bawah simfisis dan bahu belakang
melewati perineum. Pada saat tersebut kepala masuk ke dalam rongga panggul
dengan sutura sagitalis melintang atau miring.
Dalam rongga
panggul terjadi putaran paksi dalam kepala sehingga muka memutar ke posterior
dan oksiput ke arah simpisis. Dengan suboksiput sebagai hipomoklion, maka dagu,
mulut, hidung, dahi dan seluruh kepala lahir berturut-turut melewati
perineum. Ada perbedaan nyata antara kelahiran janin dalam prosentasi
kepala dan kelahiran janin dalam letak sungsang. Pada prosentase kepala yang
lahir lebih dahulu ialah bagian janin yang terbesar, sehingga bila kepala telah
lahir, kelahiran badan tidak memberi kesulitan. Sebaliknya pada letak sungsang,
berturut-turut lahir bagian-bagian yang makin lama makin besar dimulai dari
lahirnya bokong, bahu dan kemudian kepala. Dengan demikian meskipun bokong dan
bahu telah lahir, hal tersebut belum menjamin bahwa kelahiran kepala juga
berangsur-angsur berlangsung dengan lancar.
7.
Prognosis
a.
Bagi Ibu
Kemungkinan robekan pada perineum lebih besar karena
dilakukan tindakan, selain itu ketuban lebih cepat pecah dan paritas lebih
lama, jadi mudah terkena infeksi.
b.
Bagi anak
Pognosa tidak begitu baik, karena adanya gangguan
peredaran darah plasenta setelah bokong lahir dan juga setelah perut lahir, tali
pusat terjepit antara kepala dan panggul, anak bisa menderita asfiksia. Oleh
karena itu setelah pusat lahir dan supaya janin hidup, janin harus dilahirkan
dalam waktu 8 menit. (Mochtar,1998)
8.
Komplikasi
a.
Komplikasi pada janin
·
Prolaps
tali pusat.
·
Trauma
pada bayi akibat tangan mengalami extensi, kepala mengalami extensi, pembukaan
serviks belum lengkap disporposi chepalopelvic.
·
Asfiksia karena prolaps tali pusat, kompresi tali
pusat pelepasan placenta, kepala macet.
·
Perlukaan atau trauma pada organ abdomen atau leher.
·
Patah
tulang leher.
b. Komplikasi pada ibu
·
Pelepasan
placenta.
·
Perlukaan
vagina atau serviks.
·
Endometriosis.
III.
POST PARTUM (NIPAS)
1.
Pengertian Post Partum
Nifas atau purperium adalah periode waktu
atau masa dimana organ-organ reproduksi kembali ke keadaan tidak hamil.
(Forner, 1999 )
Masa nifas/masa purperium adalah masa
setelah partus selesai dan berakhir setelah kira-kira 6 minggu. (Arif, 1999)
Dari dua pengertian
di atas dapat disimpulkan bahwa masa nifas adalah masa sejak selesainya
persalinan hingga pulihnya alat-alat kandungan dan anggota badan serta
psikososial yang berhubungan dengan kehamilan/persalinan selama 6 minggu.
2.
Fase Nifas
Fase nifas terbagi
menjadi 3 tahap, yaitu :
1)
Immediate post partum : 24
jam pertama post partum
2)
Early post partum :
setelah 24 jam sampai 1 minggu post partum
3)
Late post partum :
Setelah 1 minggu sampai 6 minggu post partum
3.
Adaptasi Fisiologis dan Psikologis Post Partum
Perubahan
fisiologis pada post partum menurut Fahrer Helen (2001), meliputi :
1)
Involusio, yaitu
suatu proses fisiologis
pulihnya kembali alat
kandungan ke keadaan sebelum
hamil, terjadi karena masing-masing sel menjadi lebih kecil karena
sitoplasmanya yang berlebihan dibuang.
a.
Involusio uterus
Terjadi
setelah plasenta lahir, uterus akan mengeras karena kontraksi dan reaksi
pada otot-ototnya, dapat diamati dengan pemeriksaan TFU yaitu setelah plasenta lahir hingga 12 jam
pertama TFU 1-2 jari dibawah pusat. Pada hari ke-6 TFU normalnya berada
di pertengahan simfisis pubis
dan pusat. Pada hari ke- 9 atau 12 TFU sudah tidak
teraba.
b.
Involusio tempat
melekatnya plasenta
Setelah
plasenta dilahirkan, tempat melekatnya
plasenta menjadi tidak beraturan dan ditutupi oleh vaskuler yang
kontraksi serta trombosis pada endometrium terjadi pembentukan scar sebagai
proses penyembuhan luka. Proses
penyembuhan luka pada endometrium ini memungkinkan untuk implantasi dan pembentukan plasenta pada
kehamilan yang akan datang.
2) Lochea
Yaitu kotoran
yang keluar dari liang senggama
dan terdiri dari jaringan-jaringan mati
dan lendir berasal
dari rahim dan
liang senggama.
Lochea
terbagi menjadi 4 jenis, yaitu :
a. Lochea
rubra, berwarna merah yang terdiri dari lendir
dan darah, terdapat pada hari kesatu dan kedua.
b. Lochea
sanguinolenta, berwarna coklat yang terdiri dari cairan
bercampur darah dan pada hari ke 3 - 6 post partum.
c. Lochea
serosa, berwarna merah muda agak kekuningan yang
mengandung serum, selaput lendir, leukosit dan jaringan yang telah mati, pada
hari ke 7 - 10.
d. Lochea alba, berwarna
putih/jernih yang berisi
leukosit, sel epitel, mukosa serviks
dan bakteri atau
kuman yang telah
mati, terdapat pada hari ke-1 hingga 2 minggu setelah
melahirkan.
3) Adaptasi
Fisik
a. Tanda-tanda
vital
Suhu
meningkat karena perubahan hormonal tetapi bila suhu diatas 38 oC
dan selama 2 hari dalam 10 hari pertama post partum perlu dipikirkan
kemungkinan adanya infeksi saluran kemih, endometritis dan sebagainya. Pembengkakan buah dada pada hari ke-2 atau 3 setelah melahirkan dapat menyebabkan
kenaikan suhu, walaupun tidak selalu.
b. Adaptasi
sistem cardiovaskuler
·
Tekanan darah
stabil, penurunan tekanan darah sistolik
20 mmHg dapat terjadi pada saat ibu berubah posisi
berbaring - duduk. Keadaan
sementara ini sebagai kompensasi
cardiovaskuler terhadap penurunan
dalam rongga panggul dan perdarahan.
·
Denyut nadi berkisar
antara 60 - 70 x/menit, berkeringat dan menggigil mengeluarkan cairan yang berlebihan
sering terjadi terutama pada malam hari.
c.
Adaptasi sistem gastro
intestinal
Diperlukan
waktu 3 - 4 hari sebelum faal usus kembali normal meskipun kadar progesteron
menurun setelah melahirkan
namun asupan makanan juga mengalami penurunan selama 1 - 2
hari.
d. Adaptasi
traktus urinarius
Selama
proses persalinan kandung kemih mengalami
trauma yang dapat mengakibatkan
oedem dan menghilangkan sensifitas terhadap tekanan cairan. perubahan ini dapat
menyebabkan tekanan yang berlebihan dan pengosongan yang tidak sempurna, biasanya ibu mengalami
ketidakmampuan untuk buang air
kecil selama 2 hari pertama
setelah melahirkan.
e. Adaptasi
sistem endokrin
Perubahan
buah dada, umumnya produksi air susu baru berlangsung pada hari ke 2 - 3 post
partum, buah dada nampak membesar, keras dan nyeri.
f. Adaptasi
sistem muskuloskeletal
Otot
dinding abdomen teregang secara bertahap selama kehamilan, mengakibatkan
hilangnya kekenyalan otot. Keadaan
ini terlihat jelas setelah melahirkan dinding perut tampak
lembek dan kendor.
g. Perineum
Setelah
melahirkan perinuem menjadi kendur karena sebelumnya teregang oleh tekanan
kepala bayi yang bergerak maju, pada post partum hari ke-5, perineum sudah
mendapatkan kembali sebagian besar tonusnya sekalipun tetap
lebih kendur daripada
keadaan sebelum melahirkan (nuliparia).
h. Laktasi
Setelah
partus, pengaruh penekanan dari estrogen
dan progesteron terhadap hipofisis hilang timbul. Pengaruh hormon-hormon hipofisis kembali antara lain lactogenic hormon
(prolaktin) yang akan menghasilkan mammae
yang telah dipersiapkan pada masa hamil, terpengaruhi akibat kelenjar-kelenjar susu berkontraksi sehingga mengeluarkan air susu.
Umumnya produksi air
susu baru berlangsung betul pada hari ke-2 - 3 post
partum.
4)
Proses menjadi orang tua
Steele
dan Pollack (1968), menyatakan bahwa
menjadi orang tua merupakan suatu proses yang terdiri dari dua komponen.
Komponen pertama bersifat praktis atau mekanis yang melibatkan ketrampilan
kognitif dan motorik, dan
komponen kedua bersifat emosional yang melibatkan ketrampilan afektif
dan kognitif. Kedua komponen tersebut penting untuk
perkembangan dan keberadaan bayi.
a. Ketrampilan
Kognitif-Motorik
Komponen ini
melibatkan orang tua
dalam aktivitas perawatan anak, seperti memberikan makan, menggendong, menenakan
pakaiaan, dan membersihkan bayi,
menjaganya dari bahaya,
dan memungkinkan untuk bergerak.
(Steele, Pollack,1968)
Kemampuan
orang tua dalam hal ini dipengaruhi oleh pengalaman pribadinya dan
budayanya. Banyak orang
tua harus belajar
untuk melakukan tugas ini
dan proses belajar
mungkin sukar bagi
mereka. Akan tetapi, hampir
semua orang tua
yang memiliki keinginan
untuk belajar dan dibantu
dukungan orang lain
menjadi terbiasa dengan aktivitas merawat anak.
b. Ketrampilan
Kognitif-Afektif
Komponen psikologis
dalam menjadi orang
tua, sifatnya keibuan atau
kebapakan tampaknya berakar dari pengalaman orang tua
di masa kecil saat
mengalami dan menerima
kasih sayang dari
ibunya. Dalam hal ini
orang tua bisa dikatakan
mewarisi kemampuan untuk menunjuk perhatian dan kelembutan serta
menyalurkan kemampuan ini ke generasi
berikutnya dengan meniru hubungan orangtua-anak yang pernah dialaminya.
Ketrampilan
ini meliputi sikap yang lembut, waspada, dan memberikan perhatian terhadap kebutuhan dan keinginan
anak. Komponen menjadi orang
tua ini memiliki
efek yang mendasar pada cara
perawatan anak yang
dilakukan dengan praktis dan pada
respon emosionl anak terhadap
asuhan yang diterimanya.
Suatu hubungan orangtua-anak yang
positif adalah saling memberi satu sama lain yang dapat mendasari
dalam memberikan bantuan
mempunyai arti bahwa orang tersebut berharga untuk menerima
bantuan.
Konsep
Erikson (1959-1964), mengatakan tentang dasar kepercayaan perkembangan rasa percaya ini akan menentukan
respon bayi seumur hidupnya.
Orang-orang yang mengalami
hubungan orang tua-anak yang
positif cenderung lebih mudah bersosialisasi dan terbuka serta mampu
meminta bantuan dan menerima
bantuan dari orang lain. Sebaliknya,
mereka yang kurang rasa percaya cenderung mengasingkan diri dan menyendiri. Mereka memiliki kemungkinan yang
lebih besar untuk mengalami krisis
karena ketidakmampuanya
menggunakan dukungan orang lain ketika menghadapi masalah. (Bobak, Lowdermilk,
Jensen, 2004)
5) Adaptasi
psikososial
Menjadi orang tua
merupakan suatu krisis tersendiri dan harus melewati masa transisi. Masa
transisi pada post partum yang harus diperhatikan perawat adalah :
·
Honeymoon
Adalah fase setelah anak lahir dan dan terjadi kontak
yang lama antara ibu, ayah, anak. Kala ini dapat dikatakan sebagai psikis
honeymoon yang memerlukan hal-hal romantis masing-masing saling memperhatikan
anaknya dan menciptakan hubungan yang baru.
· Bonding Attachment atau ikatan kasih
Dimulai sejak dini
begitu bayi dilahirkan."Bonding" adalah suatu istilah untuk menerangkan
hubungan antara ibu dan anak. Sedangkan"attachment" adalah suatu
keterikatan antara orang tua dan anak. Peran perawat penting sekali untuk
memikirkan bagaimana hal tersebut dapat terlaksana. Partisipasi suami dalam
proses persalinan merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan ikatan kasih
tersebut.
Menurut
klasifikasi Rubin terdapat tiga tingkat psikologis klien setelah melahirkan
adalah :
·
Fase "taking in"
(Fase Dependen)
Selama 1-2
hari pertama, dependensi
sangat dominan pada
ibu dan ibu lebih
memfokuskan pada dirinya
sendiri. Beberapa hari
setelah melahirkan akan
menangguhkan keterlibatannya dalam
tanggung jawab sebagai seorang
ibu dan ia lebih mempercayakan kepada
orang lain dan ibu akan lebih
meningkatkan kebutuhan akan nutrisi dan
istirahat. Menunjukkan kegembiraan yang sangat, misalnya
menceritakan tentang pengalaman
kehamilan, melahirkan dan rasa ketidaknyamanan.
·
Fase "taking hold"
(Fase Independen)
- Ibu
sudah malu menunjukkan perluasan fokus perhatiannya yaitu dengan memperlihatkan
bayinya.
- Ibu
mulai tertarik melakukan pemeliharaan pada bayinya.
- Ibu
mulai terbuka untuk menerima pendidikan kesehatan bagi dirinya dan bayinya.
·
Fase "letting go" (Fase Interdependen)
Merupakan
suatu kemajuan menuju peran baru, ketidaktergantungan dalam merawat diri dan bayinya lebih meningkat, dan mampu mengenal
bahwa bayi terpisah dari
dirinya. (Farrer, 2001)
·
Post partum Blues
Pada fase ini,
terjadi perubahan kadar hormon estrogen dan progesteron yang menurun, selain itu
klien tidak siap dengan tugas-tugas yang harus dihadapinya. Post partum blues
biasanya terjadi 6 minggu setelah melahirkan. Gejala yang tampak adalah
menangis, mudah tersinggung, gangguan nafsu makan, gangguan pola tidur, dan
cemas. Bila keadaan ini berlangsung lebih dari 2 minggu dan klien tidak mampu
menyesuaikan dengan tuntutan tugasnya, maka keadaan ini dapat menjadi serius
yaitu keadaan post partum depresi.
IV.
MOBILISASI
DINI POST PARTUM (POST SECTIO CAESAREA)
1.
Pengertian
Mobilisasi
Mobilisasi dini adalah suatu
upaya mempertahankan kemandirian sedini mungkin dengan cara membimbing
penderita untuk mempertahankan fungsi fisiologis. (Carpenito, 2000)
Mobilisasi adalah kemampuan seseorang untuk berjalan bangkit berdiri dan
kembali ke tempat tidur, kursi, kloset
duduk, dan sebagianya disamping kemampuan mengerakkan ekstermitas atas.
(Hincliff, 1999)
Mobilisasi ibu post partum adalah suatu pergerakan, posisi atau adanya
kegiatan yang dilakukan ibu setelah beberapa jam melahirkan dengan persalinan
Caesar. (Soelaiman, 1993)
2.
Manfaat
Mobilisasi
Menurut Manuaba (1998),
tujuan mobilisasi post partum adalah :
1)
Melancarkan
pengeluaran lochea, mengurangi infeksi peurperium
2)
Mempercepat involusi
alat kandungan
3)
Melancarkan fungsi
alat gastrointestinal dan alat perkemihan
4)
Meningkatkan
kelancaran peredaran darah, sehingga mempercepat fungsi ASI dan pengeluaran
sisa metabolisme.
Menurut Rambey (2008), manfaat mobilisasi dini adalah :
1)
Melancarkan sirkulasi
darah
2)
Membantu proses
pemulihan
3)
Mencegah terjadinya
infeksi yang timbul karena gangguan pembuluh darah balik serta menjaga
pedarahan lebih lanjut
Menurut Fizari (2009), manfaat lain dari mobilisasi dini adalah :
1)
Ibu merasa lebih sehat
dan kuat
2)
Faal usus dan kandung
kencing lebih baik
3)
Kesempatan yang baik
untuk mengajari merawat atau memelihara anaknya
3.
Kerugian
Bila Tidak Melakukan Mobilisasi
1)
Peningkatan
suhu tubuh
Karena adanya involusi uterus yang tidak baik sehingga
sisa darah tidak dapat dikeluarkan dan menyebabkan infeksi dan salah satu dari
tanda infeksi adalah peningkatan suhu tubuh.
2)
Perdarahan
yang abnormal
Dengan mobilisasi dini kontraksi uterus akan baik
sehingga fundus uteri keras, maka resiko perdarahan yang abnormal dapat
dihindarkan, karena kontraksi membentuk penyempitan pembuluh darah yang terbuka.
3)
Involusi
uterus yang tidak baik
Tidak dilakukan mobilisasi secara dini akan menghambat
pengeluaran darah dan sisa plasenta sehingga menyebabkan terganggunya kontraksi
uterus.
4.
Rentang
Gerak Dalam Mobilisasi
Menurut
Carpenito (2000), dalam mobilisasi terdapat tiga rentang gerak yaitu :
1)
Rentang
gerak pasif
Rentang gerak pasif ini berguna untuk menjaga
kelenturan otot-otot dan persendian dengan menggerakkan otot orang lain secara
pasif misalnya perawat mengangkat dan menggerakkan kaki pasien.
2)
Rentang
gerak aktif
Hal ini untuk melatih kelenturan dan kekuatan otot
serta sendi dengan cara menggunakan otot-ototnya secara aktif seperti berbaring,
menggerakkan kakinya.
3)
Rentang
gerak fungsional
Berguna untuk memperkuat otot-otot dan sendi dengan
melakukan aktifitas yang diperlukan.
5.
Tahap-Tahap
Mobilisasi
Tahap- tahap mobilisasi dini pada ibu post operasi
seksio sesarea (Kasdu,2003) :
1)
6
jam pertama ibu post SC
Istirahat tirah
baring, mobilisasi dini yang bisa dilakukan adalah menggerakkan lengan, tangan,
menggerakkan ujung jari kaki dan memutar pergelangan kaki, mengangkat tumit,
menegangkan otot betis serta menekuk dan menggeser kaki.
1)
6-10
jam
Ibu
diharuskan untuk dapat miring kekiri dan kekanan mencegah trombosis dan trombo
emboli.
3)
Setelah
24 jam ibu dianjurkan untuk dapat mulai belajar untuk duduk
4)
Setelah
ibu dapat duduk, dianjurkan ibu belajar berjalan
6.
Pelaksanaan
Mobilisasi Dini
1)
Hari
ke 1 :
· Berbaring miring ke kanan dan ke kiri yang dapat
dimulai sejak 6-10 jam setelah penderita / ibu sadar.
· Latihan pernafasan dapat dilakukan ibu sambil tidur
terlentang sedini mungkin setelah sadar.
2)
Hari
ke 2 :
· Ibu dapat duduk 5 menit dan minta untuk bernafas
dalam-dalam lalu menghembuskannya disertai batuk-batuk kecil yang gunanya untuk
melonggarkan pernafasan dan sekaligus menumbuhkan kepercayaan pada diri
ibu/penderita bahwa ia mulai pulih.
· Kemudian posisi tidur terlentang dirubah menjadi
setengah duduk
· Selanjutnya secara berturut-turut, hari demi hari
penderita/ibu yang sudah melahirkan dianjurkan belajar duduk selama sehari.
3)
Hari
ke 3 sampai 5 :
·
belajar
berjalan kemudian berjalan sendiri pada hari 4 setelah operasi.
· Mobilisasi secara teratur dan bertahap serta diikuti
dengan istirahat dapat membantu penyembuhan ibu.
IV.
Pathway
Sectio Caesarea
B. DAMPAK PENYAKIT TERHADAP KEBUTUHAN DASAR
MANUSIA
1. Kebutuhan
Oksigenasi
Dampak
general anastesi mengakibatkan depresi otot yang mengakibatkan reflek batuk
menurun, terjadi akumulasi scret pada jalan napas mengakibatkan bersihan jalan
napas dan pola napas tidak efektif.
2. Kebutuhan
Cairan dan Elektrolit
Perdarahan
intra/pasca operatif dapat menyebabkan volume intravaskuler menurun, terjadi
syok hipovolemik, terjadi gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit.
3. Kebutuhan
Sirkulasi
Perdarahan
intra/pasca operatif dapat menyebabkan volume intravaskuler menurun, tidak
adequatnya volume cairan intravaskuler menyebabkan penurunan tekanan darah, penurunan
aliran darah (blood flow) dan penurunan perfusi jaringan.
4. Kebutuhan
Nutrisi
Dampak
general anastesi, peristaltik usus menurun, kemampuan digesti, ingesti dan
absorpsi menurun, memicu mekanisme mual dan muntah, mengakibatkan intake
nutrisi berkurang.
5. Kebutuhan
Eliminasi
Dampak
general anastesi, peristaltik usus menurun, mengakibatkan gangguan refluk
inhibisi spingter ani, mengakibatkan konstipasi.
6. Kebutuhan
Aktifitas
Rasa
nyeri mengakibatkan kelemahan fisik dan hambatan mobilitas fisik, terjadi
gangguan pemenuhan kebutuhan aktifitas sehari-hari (ADL) dan gangguan pemenuhan
kebutuhan personal hygiene.
7. Kebutuhan
Rasa Aman
Trauma
jaringan akibat tindakan pembedahan merupakan faktor utama pemicu timbulnya
rasa nyeri, dan adanya luka operasi merupakan port de entry bagi kuman masuk ke
dalam tubuh, sehingga merupakan faktor resiko terjadinya infeksi.
Respon
adaptasi psikologis terhadap penerimaan peran baru dalam keluarga dan keterbatasan
kognitif mengakibatkan timbulnya kecemasan dan tidak efektifnya laktasi.
C. ASUHAN KEPERAWATAN
1.
Pengkajian
a. Identitas
Pada tahap ini perawat perlu mengetahui tentang nama, umur, alamat rumah,
agama atau kepercayaan, suku bangsa, bahasa yang dipakai, status pendidikan dan
pekerjaan pasien dan suaminya.
b. Riwayat
Kesehatan
1. Keluhan
utama
Keluhan utama merupakan faktor utama yang mendorong pasien mencari
pertolongan atau berobat ke rumah sakit. Biasanya pada pasien dengan post operasi sectio caesarea hari 1-3 adalah adanya rasa nyeri.
2. Riwayat
kesehatan sekarang
Mulai kapan klien merasakan adanya keluhan, dan usaha apa saja yang telah
dilakukan untuk mengatasi keadaan ini.
3. Riwayat
kesehatan dahulu
a)
Riwayat kesehatan klien
Menarche pada usia berapa, haid teratur atau tidak, siklus haid berapa
hari, lama haid, warna darah haid, HPHT kapan, terdapat sakit waktu haid atau
tidak.
b)
Riwayat kehamilan, persalinan
dan nipas yang lalu
Hamil dan persalinan berapa kali, anak hidup atau mati, usia, sehat atau
tidak, penolong siapa, nifas normal atau tidak.
c)
Riwayat pemakaian alat
kontrasepsi
Untuk mengetahui jenis KB yang digunakan oleh klien apakah menggunakan KB hormonal atau yang lainya.
4. Riwayat
kesehatan keluarga
Meliputi pengkajian
komposisi keluarga, lingkungan rumah dan komunitas, pendidikan dan pekerjaan
anggota keluarga, fungsi dan hubungan angota keluarga, kultur dan kepercayaan,
perilaku yang dapat mempengaruhi kesehatan, persepsi keluarga tentang penyakit
klien dan lain-lain.
c. Pemeriksaan
fisik dan pengkajian fungsional
1.
Tingkat kesadaran
Tingkat kesadaran dibuktikan
melalui pertanyaan sederhana yang harus
dijawab oleh klien atau di suruh untuk melakukan perintah. Variasi tingkat
kesadaran dimulai dari siuman sampai ngantuk, harus di observasi dan penurunan
tingkat kesadaran merupakan gejala syok.
2.
Sistem pernafasan
Respirasi bias meningkat
atau menurun . Pernafasan yang ribut dapat terdengar tanpa stetoskop. Bunyi pernafasan akibat
lidah jatuh kebelakang atau akibat terdapat secret. Suara paru yang kasar merupakan gejala terdapat secret pada saluran
nafas . Usaha batuk dan bernafas dalam dilaksalanakan segera pada klien yang memakai anaestesi general.
3.
Sistem perkemihan
Retensi urine paling umum
terjadi setelah pembedahan ginekologi,
klien yang hidrasinya baik biasanya kencing setelah 6 sampai 8 jam setelah
pembedahan. Jumlah autput urine yang sedikit akibat kehilangan cairan tubuh
saat operasi, muntah akibat anestesi.
4.
Sistem pencernaan
Fungsi gastrointestinal
biasanya pulih pada 24-74 jam setelah
pembedahan, tergantung pada kekuatan efek narkose pada penekanan intestinal.
Ambulatori perlu diberikan untuk menghilangkan gas dalam usus.
5.
Integritas ego
·
Dapat menunjukkan
labilitas emosional, dari kegembiraan, sampai ketakutan, marah atau menarik
diri.
· Klien/
pasangan dapat memiliki pertanyaan atau salah terima peran dalam pengalaman
kelahiran, mungkin mengekspresikan ketidakmampuan untuk menghadapi situasi
baru.
6.
Eliminasi
·
Kateter urinaris
indweiling mungkin terpasang: urine jernih pucat.
· Bising
usus tidak ada, samar atau jelas.
7.
Nutrisi
Abdomen lunak
dengan tidak ada distensi pada awal.
8.
Nyeri/ ketidaknyamanan
Mungkin
mengeluh ketidaknyamanan dari berbagai sumber. Misal: trauma bedah/ insisi,
nyeri penyerta, distensi kandung kemih/ abdomen, efek-efek anestesia, mulut
mungkin kering.
9.
Keamanan
·
Balutan abdomen dapat
tampak sedikit noda kering dan utuh.
·
Jalur parental bila
digunakan paten can sisi bebas eritema, bengkok, nyeri tekan.
10. Seksualitas
·
Fundus kontraksi kuat dan
terletak di umbilicus.
·
Aliran lokhia sedang dan
bebas bekuan berlebihan/banyak.
2.
Diagnosa Keperawatan
1)
Bersihan jalan
nafas tidak efektif
berhubungan dengan efek
anestesi. (Doenges, 2001)
2)
Nyeri berhubungan dengan
trauma pembedahan, efek anestesi, efek hormonal, distensi kandung kemih.
(Doenges, 2001)
3)
Defisit volume
cairan berhubungan dengan
kehilangan darah dalam pembedaran. (Doenges, 2001)
4)
Hambatan mobilitas fisik
berhubungan dengan intoleransi
aktivitas dan nyeri. (Judith, 2005)
5)
Defisit perawatan
diri berhubungan dengan
kelemahan fisik. (Doenges, 2001)
6)
Resiko infeksi
berhubungan dengan peningkatan
kerentanan tubuh terhadap bakteri
sekunder pembedahan. (Doenges, 2001)
7)
Ansietas berhubungan dengan
perubahan peran atau
transmisi interpersonal. (Doenges, 2001)
8)
Tidak efektifnya
laktasi berhubungan dengan
terhambatnya pengeluaran ASI, perpisahan
dengan bayi. (Carpenito, 2009)
9) Kurang
pengetahuan berhubungan dengan mengenai perubahan fisiologis, periode pemulihan, perawatan
diri dan kebutuhan
perawatan diri. (Doenges, 2001)
3.
Intervensi
Keperawatan
1)
Bersihan jalan nafas
tidak efektif berhubungan dengan efek anestesi
Tujuan :
· Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ......x
24 jam, bersihan jalan napas efektif.
Kriteria
hasil :
· Tidak mengalami
penumpukan sekret, bunyi nafas bersih, dan dapat melakukan batuk
efektif.
Intervensi :
a.
Kaji faktor-faktor
penyebab (sekret, penurunan kesadaran, reflek batuk).
Rasional : Penumpukan
sekret, penurunan kesadaran
dan reflek batuk
menurun dapat menghalangi jalan
nafas.
b.
Pertahankan klien
pada posisi miring,
maka sekret dapat
mengalir ke bawah.
Rasional :
dengan memberikan posisi miring, maka sekret dapat mengalir ke bawah.
c. Kaji
posisi lidah, yakinkan tidak jatuh ke belakang dan menghalangi nafas.
Rasional : posisi
lidah yang jatuh
ke belakang dapat
menghalangi jalan nafas.
d. Tinggikan
kepala tempat tidur.
Rasional :
pengembangan paru lebih maksimal.
e. Ajarkan
batuk efektif.
Rasional :
untuk pengeluaran sekret dan jalan nafas.
2) Gangguan
rasa nyaman nyeri berhubungan dengan trauma pembedahan, efek anastesi, efek
hormonal dan distensi kandung kemih.
Tujuan :
· Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ........x
24 jam, klien tidak mengalami nyeri.
Kriteria
hasil :
·
Mampu mengidentifikasikan
cara mengurangi nyeri, mengungkapkan
keinginan untuk mengontrol nyerinya,
dan mampu untuk
tidur/istirahat dengan tepat.
Intervensi :
a.
Kaji nyeri, perhatikan
lokasi, intensitas, dan lamanya.
Rasional
: memberikan informasi untuk membantu memudahkan
tindakan keperawatan.
b.
Ajarkan dan catat tipe
nyeri serta tindakan untuk mengatasi nyeri.
Rasional
: meningkatkan persepsi klien terhadap nyeri yang
dialaminya.
c.
Ajarkan teknik relaksasi
– distraksi
Rasional : meningkatkan
kenyamanan klien.
d.
Pertahankan tirah baring
bila diindikasikan.
Rasional
: tirah baring diperlukan pada awal selama fase reteksi
akut.
e.
Anjurkan menggunakan
kompres hangat.
Rasional : membantu mengurangi
nyeri dan meningkatkan
kenyamanan klien.
f.
Berikan obat sesuai
indikasi
Rasional
: mengurangi nyeri.
g.
Masukan kateter dan
dekatkan untuk kelancaran drainase.
Rasional
: pengaliran kandung kemih menurunkan tegangan.
3)
Defisit volume cairan
berhubungan dengan pengeluaran
integritas pembuluh darah,
perubahan dalam kemampuan pembekuan darah.
Tujuan :
· Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama .......x
24 jam, defisit volume cairan dapat teratasi.
Kriteria
hasil :
·
Tanda-tanda vital
yang stabil, palpasi
denyut nadi dengan kualitas
baik, turgor kulit
normal, membran mukosa lembab,
dan pengeluaran urine yang sesuai.
Intervensi :
a. Ukur dan
catat pemasukan dan
pengeluaran. Tinjau ulang catatan intraoperasi.
Rasional :
membantu mengidentifikasi pengeluaran cairan atau kebutuhan penggantian.
b. Kaji
pengeluaran urinarius.
Rasional : mengindikasikan
malfungsi atau obstruksi sistemurinarius.
c. Awasi
TD, nadi, dan tekanan hemodinamik.
Rasional : hipoteksi, takikardia penurunan
tekanan hemodinamik menunjukan
kekurangan cairan.
d. Catat
munculnya mual/muntah.
Rasional :
mual yang terjadi 12-24 jam pascaoperasi dihubungkan dengan anestesi; mual
lebih dari tiga
hari pascaoperasi dihubungkan dengan narkotik untuk mengontrol rasa sakit atau
terapi obat- obatan lainnya.
e. Periksa pembalut
atau drain pada
interval reguler. Kaji
luka untuk terjadinya
pembengkakan.
Rasional : pendarahan
yang berlebihan dapat mengacu kepada hipovolemia/hemoragi. Pembengkakan lokal mengindikasikan
formasi hematoma/pendarahan.
f. Pantau
suhu kulit, palpasi denyut perifer.
Rasional : kulit
dingin/lembab, denyut lemah mengindikasikan penurunan sirkulasi perifer.
g. Pasang
kateter urinarius sesuai kebutuhan.
Rasional :
memberikan mekanisme untuk memantau pengeluaran urinarius yang adekuat.
h. Berikan
cairan parental, produksi darah dan/ atau plasma ekspander sesuai petunjuk.
Rasional : gantikan kehilangan
cairan. Catat waktu
penggunaan volume sirkulasi yang
potensial bagi penurunan komplikasi.
i. Awasi
pemeriksaan laboratorium sesuai indikasi.
·
Hb/Ht
Rasional : menurun
karena anemia atau kehilangan darah aktual.
·
Elektrolit serumdan pH.
Rasional :
ketidakseimbangan dapat memerlukan perubahan
dalamcairan atau tambahan
pengganti untuk mencapai
keseimbangan.
j. Berikan
darah atau kemasan SDM bila diperlukan sesuai indikasi.
Rasional : kehilangan pendarahan,
penurunan produksi SDM
dapat mengakibatkan anemia berat atau progresif.
4)
Hambatan mobilitas fisik
berhubungan dengan intoleransi aktivitas dan nyeri.
Tujuan :
· Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ......
x 24 jam, gangguan mobilitas fisik teratasi.
Kriteria
hasil :
·
Tidak adanya kontraktur,
meningkatkan kekuatan bagian tubuh yang
sakit/kompensasi dan mendemonstrasikan teknik atau perilaku yang
memungkinkan melakukan kembali aktivitas.
Intervensi :
a. Kaji fungsi
motorik dengan menginstruksikan pasien
untuk melakukan gerakan.
Rasional : mengevaluasi
keadaan khusus.pada beberapa
lokasi trauma mempengaruhi tipe
dan pemilihan intervensi.
b. Catat
tipe anestesi yang diberikan pada saat intra partus pada waktu klien sadar.
Rasional :
pengaruh anestesi dapat mempengaruhi aktifitas klien.
c. Berikan
suatu alat agar pasien mampu untuk meminta pertolongan, seperti bel atau lampu
pemanggil.
Rasional : Membuat
pasien memiliki rasa
aman, dapat mengatur
diri dan mengurangi ketakutan
karena ditinggal sendiri.
d. Bantu
/ lakukan latihan ROM pada semua ekstremitas dan sendi, pakailah gerakan
perlahan dan lembut.
Rasional : meningkatkan
sirkulasi, meningkatkan mobilisasi
sendi dan mencegah kontraktur dan
atrofi otot.
e. Anjurkan
klien istirahat.
Rasional :
mencegah kelelahan.
f. Tingkatkan
aktifitas secara bertahap.
Rasional : aktifitas sedikit demi
sedikit dapat dilakukan oleh klien sesuai yang diinginkan,
memberikan rasa tenang dan aman pada klien emosional.
5) Defisit
perawatan diri berhubungan dengan kelemahan fisik.
Tujuan :
· Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama .......x
24 jam, defisit perawatan diri teratasi
Kriteria
hasil :
·
Mampu mendemonstrasikan
teknik-teknik untuk memenuhi kebutuhan
perawatan diri, dan mengidentifikasi/menggunakan sumber-sumber yang
tersedia.
Intervensi :
a. Pastikan
berat / durasi ketidaknyamanan.
Rasional : nyeri dapat
mempengaruhi respons emosi
dan perilaku, sehingga klien
mungkin tidak mampu berfokus pada perawatan diri sampai kebutuhan fisik.
b. Tentukan
tipe-tipe anastesi.
Rasional : Klien
yang telah menjalani
anestesia spinal dapat
diarahkan untuk berbaring datar.
c. Ubah
posisi klien setiap 1-2 jam.
Rasional : membantu mencegah
komplikasi bedah seperti flebitis.
d. Berikan bantuan
sesuai kebutuhan (perawatan
mulut, mandi, gosokan punggung dan perawatan perineal).
Rasional :
memperbaiki harga diri, meningkatkan perasaan kesejahteraan bantuan profesional
e. Kolaborasi
pemberian analgesik sesuai indikasi.
Rasional : menurunkan ketidaknyamanan, yang
dapat mempengaruhi kemampuan
untuk melaksanakan perawatan diri.
6)
Resti infeksi berhubungan
dengan prosedur invasif, kerusakan kulit, pemajanan pada patogen.
Tujuan :
· Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ......
x 24 jam, klien tidak mengalami infeksi.
Kriteria
hasil :
·
Tidak ada
tanda-tanda infeksi (rubor, kalor,
dolor, tumor dan fungsio laesa), tanda-tanda vital normal terutama suhu
(36-37 C), dan pencapaian
tepat waktu dalam pemulihan luka tanpa komplikasi.
Intervensi :
a. Monitor
tanda-tanda vital.
Rasional : suhu
yang meningkat, dapat
menunjukkan terjadinya infeksi (color).
b. Kaji
luka pada abdomen dan balutan.
Rasional : mengidentifikasi
apakah ada tanda-tanda infeksi adanya pus.
c. Menjaga
kebersihan sekitar luka dan lingkungan klien, rawat luka dengan teknik aseptik.
Rasional : mencegah
kontaminasi silang/penyebaran organisme infeksius.
d. Dapatkan
kultur darah, vagina, dan plasenta sesuai indikasi.
Rasional :
mengidentifikasi organisme yang
menginfeksi dan tingkat keterlibatan.
e. Catat
hemoglobin dan hematokrit. Catat perkiraan kehilangan darah selama prosedur
pembedahan.
Rasional : risiko infeksi
pasca melahirkan dan
penyembuhan buruk meningkat bila
kadar hemoglobin rendah dan kehilangan darah berlebihan.
f. Berikan
antibiotik pada praoperasi
Rasional :
mencegah terjadinya proses infeksi
7)
Ansietas berhubungan
dengan perubahan peran atau transmisi interpersonal.
Tujuan :
· Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ......x
24 jam, rasa cemas teratasi.
Kriteria
hasil :
·
Mampu mengungkapkan
perasaan takut, tampak rileks, dan
menggunakan sumber/sistem
pendukung dengan efektif.
Intervensi
:
a. Kaji
respon psikologis pada kejadian dan ketersediaan sistempendukung.
Rasional : semakin klien
merasakan ancaman, semakin
besar tingkat ansietas.
b. Tetap
bersama klien dan tenang. Bicara perlahan. Tunjukkan empati.
Rasional : membantu membatasi
transimisi ansietas interpersonal, dan mendemonstrasikan perhatian terhadap
klien/pasangan.
c. Beri
penguatan aspek positif dari ibu dan kondisi janin.
Rasional : memfokuskan
pada kemungkinan keberhasilan
hasil akhir dan membantu
membawa ancaman yang
dirasakan / aktual
ke dalam perspektif.
d. Anjurkan
klien/pasangan mengungkapkan dan/atau mengekspresikan perasaan (menangis).
Rasional : membantu
mengidentifikasi
perasaan/masalah negative dan memberikan kesempatan
untuk mengatasi perasaan
ambivalen atau teratasi/berduka. Kepercayaan diri dan penerimaan serta
menurunkan ansietas.
e. Berikan
masa privasi. Kurangi rangsang lingkungan, seperti jumlah orang yang ada,
sesuai keinginan klien.
Rasional : untuk
menginternalisasi informasi, menyusun
sumber-sumber, dan mengatasi dengan efektif.
8)
Tidak efektifnya laktasi
berhubungan dengan terhambatnya pengeluaran ASI, perpisahan dengan bayi.
Tujuan :
· Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama .......x
24 jam, laktasi efektif
Kriteria
hasil :
·
Dapat mengidentifikasi
aktivitas yang menentukan atau meningkatkan menyusui yang berhasil.
Intervensi
:
a. Kaji
isapan bayi, jika ada lecet pada putting.
Rasional :
menentukan kermampuan untuk memberikan perawatan yang tepat.
b. Anjurkan
klien breast care dan menyusui yang efektif.
Rasional :
mempelancar laktasi.
c. Anjurkan
klien memberikan asi esklusif.
Rasional : ASI dapat
memenuhu kebutuhan nutrisi
bagi bayi sehingga pertumbuhan optimal.
d. Berikan
informasi untuk rawat gabung.
Rasional :
menjaga meminimalkan tidak efektifnya laktasi
e. Anjurkan
bagaimana cara memeras, menyimpan, dan mengirim atau memberikan ASI dengan aman.
Rasional :
menjaga agar ASI tetap bisa digunakan dan tetap higienis bagi bayi.
9)
Kurang pengetahuan
berhubungan dengan kurang informasi mengenai perubahan fisiologis, periode
pemulihan, dan kebutuhan perawatan diri.
Tujuan :
· Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama .......x
24 jam, klien menunjukan pengetahuan mengenai perubahan
fisiologis, periode pemulihan, dan kebutuhan perawatan diri.
Kriteria
hasil :
·
Mampu mengungkapkan
pemahaman tentang perubahan fisiologis,
kebutuhan-kebutuhan individu, hasil yang diharapkan.
Intervensi
:
a. Kaji
kesiapan dan motivasi klien untuk belajar
Rasional : penyuluhan diberikan
untuk membantu
mengembangkan pengetahuan ibu,
maturasi dan kompetensi.
b. Kaji
keadaan fisik klien.
Rasional :
ketidaknyamanan dapat mempengaruhi konsentrasi dalam menerima penyuluhan.
c. Berikan informasi
tentang perubahan fisiologis
dan psikologis yang
normal.
Rasional : membantu klien
mengenali perubahan normal.
d. Diskusikan
program latihan yang tepat, sesuai ketentuan.
Rasional : program
latihan dapat membantu tonus otot-otot,
meningkatkan sirkulasi, menghasilkan
gambaran keseimbangan tubuh dan meningkatkan perasaan sejahtera.
e. Demonstrasikan
teknik-teknik perawatan diri.
Rasional :
Membantu orang tua dalam penguasaan tugas-tugas baru.
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito.
Lynda Juall. Diagnosa Keperawatan:
Aplikasi Pada Pasien Klinis. Jakarta
: EGC., Ed.9. 2009.
Doengoes,
M. Rencana Perawatan Maternitas / Bayi, EGC : jakarta. 2001.
Fizari, S. Perubahan Fisiologi pada Masa Nifas, From Http://sekuracity.blogspot.com. 2013
Hincliff, S. Kamus Keperawatan, Jakarta: EGC. 1999.
Judith M.
Wilkinson, Nancy R. Ahern. Buku Saku
Diagnosis Keperawatan, Diagnosa NANDA, Intervensi NIC, Kriteria Hasil NOC.
Jakarta: EGC; 2005.
Mansjoer,
A. Dasar-dasar Keperwatan Maternitas, EGC : jakarta. 1995.
Manuaba, I. B. G. Ilmu Kebidanan Penyakit Kandungan dan Keluarga Berencana Untuk Pendidikan Bidan, Jakarta: EGC. 1998.
Manuaba, I. B. G. Memahami Kesehatan Reproduksi Wanita. Arcan : Jakarta. 2000.
Mochtar,
R. Sinopsis obstetri : obstetri operatif,
obstetri sosial, jilid 2. EGC : Jakarta. 2002.
Prawirohardjo, S. Buku Panduan Praktis
Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal, Jakarta: Yayasan Bina Pustaka.
2002.
Syaifudin,
Abdul Bari, Pelayanan kesehatan maternal dan neonatal. Bina Pustaka :
Jakarta. 2002.
Sarwono, 1989, Ilmu Bedah kebidanan, Yayasan
sarwono, Jakarta.
Winkjosastro,
H. Dkk. Ilmu kebidanan, Bina Pustaka : Jakarta. 2002.
Comments
Post a Comment